US$20 Miliar Melayang, Asuransi Asia Hadapi Keterbatasan Pembayaran Klaim di Tengah Kerugian Ekonomi 2024

Photo Author
- Senin, 19 Mei 2025 | 15:43 WIB
Foto Ilustrasi. Industri asuransi Asia mengalami disrupsi akibat kerugian ekonomi di 2024.  ((Pixabay/Oleg Gamulinski))
Foto Ilustrasi. Industri asuransi Asia mengalami disrupsi akibat kerugian ekonomi di 2024. ((Pixabay/Oleg Gamulinski))

MEDIA24.ID, JAKARTA - Industri asuransi global diguncang hebat sepanjang 2024 akibat cuaca ekstrem yang makin tak terkendali. Akibatnya, Industri asuransi Asia juga mengalami disrupsi akibat kerugian ekonomi tersebut.

Laporan terbaru WTW mengungkapkan bahwa total kerugian ekonomi akibat bencana cuaca mencapai lebih dari US$20 miliar atau sekira Rp328 triliun, namun hanya US$2 hingga $3 miliar yang mampu diklaim melalui asuransi, angka yang sangat kecil dibandingkan dampak Sesungguhnya.

Mengutip Insurance Asia, Kamis, 15 Mei 2025, musim topan 2024 di kawasan Pasifik Utara mencatatkan 23 badai tropis, dengan 15 meningkat menjadi topan dan 9 di antaranya berintensitas tinggi.

Baca Juga: Maybank Indonesia Dukung Pembangunan Pabrik Mobil Listrik VinFast melalui Pembiayaan Berkelanjutan

Meski jumlah tersebut sedikit lebih rendah dari rerata tahunan, kerusakan fisik dan ekonomi jauh lebih besar akibat intensitas dan lokasi pendaratan badai.

Salah satu kasus paling mencolok adalah Topan Yagi, yang memporakporandakan wilayah Asia Tenggara, menyebabkan 1.200 korban jiwa dan mencatatkan kerugian ekonomi hingga US$15 miliar. Ironisnya, hanya sekitar US$1 miliar dari angka itu yang dijamin oleh polis Asuransi, mencerminkan jurang besar dalam perlindungan asuransi di Asia.

Wilayah China Selatan dan Vietnam menjadi sorotan karena rendahnya penetrasi asuransi, padahal Topan Yagi melaju dengan kecepatan hingga 160 mph, menjadikannya salah satu badai terkuat yang pernah menghantam Vietnam dan Hainan.

Baca Juga: Kemenag Jamin Hak Asuransi dan Badal Haji Jamaah Haji yang Wafat

Di Jepang, Topan Shanshan turut menciptakan kehancuran dengan intensitas tinggi, namun nilai klaim asuransi tetap rendah, hanya di bawah US$1 miliar, karena wilayah terdampak tidak memiliki eksposur perlindungan yang memadai.

Sementara itu, Filipina mengalami serangan beruntun dari enam badai dalam kurun 30 hari, mempengaruhi lebih dari 13 juta penduduk dan menyebabkan kerugian senilai US$500 juta. Lagi-lagi, minimnya kepemilikan asuransi membuat masyarakat tidak mendapatkan perlindungan finansial yang memadai.

Kondisi ini menegaskan bahwa gap perlindungan asuransi di Asia semakin lebar, padahal ancaman cuaca ekstrem kian meningkat. Industri asuransi ditantang untuk memperluas jangkauan, meningkatkan edukasi publik, dan mendorong pemerintah serta sektor swasta memperkuat ketahanan keuangan menghadapi krisis iklim.

Indonesia Juga Tertekan

Seperti diketahui, kondisi global juga terjadi di Indonesia. Tekanan yang cukup berat itu dialami oleh industri asuransi umum pada 2024. Akibatnya, laba setelah pajak Perusahaan asuransi umum anjlok drastis.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), laba setelah pajak industri asuransi umum pada 2023 masih mencapai Rp7,80 triliun, namun pada 2024 turun drastis menjadi rugi Rp10,14 triliun, atau merosot hingga 197,8 persen.

Halaman:

Editor: Moh Purwadi

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Tags

Terkini

X