MEDIA24.ID, JAKARTA - Aksi demonstrasi puluhan ribu warga Pati, Jawa Tengah, pada Rabu (13/8) menuntut Bupati Sudewo mundur dari tampuk kekuasaannya usai menaikan Pajak Bumi Bangungan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250 persen, menjadi alarm bagi para pejabat daerah lain hingga pusat untuk tak semena-mena membuat kebijakan.
Dalam sistem demokrasi, seharusnya sebelum kebijakan itu diterapkan, dibuat kajian yang mendalam yang melibatkan semua unsur, termasuk peran serta dari masyarakat.
Saat ini, ada beberapa daerah lain yang mengalami kenaikan pajak serupa. Antara lain Cirebon sebesar 1000 persen, Jombang 400 persen, dan Semarang 400 persen. Mengingat kebijakan ini dibuat dengan serampangan dan merugikan masyarakat, maka harus secepatnya dievaluasi.
Baca Juga: Indonesia Persiapkan jadi Pusat AI di Asia Tenggara, Media Asing Ikut Soroti
Hal ini penting dilakukan agar tak menimbulkan gejolak besar di masyarakat seperti yang terjadi di Pati, yang kemudian disusul aksi demonstrasi serupa di Bone, Sulawesi Selatan, menentang kebijakan Pemda setempat yang menaikkan PBB-P2 sebesar 400 persen.
Berbagai fenomena terkait menurunnya kualitas demokrasi yang terjadi belakangan ini pun akan disoroti oleh GUSDURian dalam Temu Nasional (TUNAS) Jaringan GUSDURian yang digelar di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta Timur, DKI Jakarta pada 29-31 Agustus 2025 mendatang.
Direktur Jaringan GUSDURian Alissa Wahid mengatakan bahwa indeks demokrasi mengalami kemunduran, sementara praktik korupsi kian marak dengan nilai kerugian negara yang jauh lebih besar dibanding masa lalu.
Baca Juga: Kota Tua Jadi Primadona Libur HUT ke-80 RI, Jumlah Pengunjung Melonjak Drastis
“Kebijakan pemerintah dibuat tanpa kajian yang cukup. Suara rakyat semakin ditekan, sehingga muncul berbagai bentuk perlawanan, mulai dari kabur aja dulu atau Indonesia gelap,”kata Alissa.
Ia menegaskan, dalam demokrasi, suara rakyat harus didengar dan dilibatkan, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun pelaksanaan kebijakan. Kondisi ini menjadi perhatian serius GUSDURian, terutama untuk mengantisipasi potensi melemahnya kedaulatan sipil.
“Demokrasi hanya bisa tegak jika kedaulatan sipil tetap kuat. Kalau kekuasaan sipil berada di bawah kendali militer, suara rakyat tidak akan pernah menjadi yang utama,” tegas Alissa.
Selain soal penguatan demokrasi, dalam Tunas GUSDURian mendatang, juga akan membahas soal ekologi.
Alissa menuturkan bahwa secara global, dunia sedang menghadapi krisis iklim. Di Indonesia, kondisi ini diperburuk oleh industri ekstraktif yang masih beroperasi dengan pendekatan kekuasaan. Dampaknya, masyarakat adat tersingkir dan ekosistem mengalami kerusakan parah.
“Hampir tidak ada, pertambangan yang benar-benar memulihkan lingkungan. Bahkan, karena penyelenggara, pemerintah itu masih abai terhadap aturan hukum, kewajiban reklamasi tidak dilakukan. Akibatnya, banyak masyarakat menjadi korban, jatuh ke lubang tambang, atau tanah tandus tanpa penghijauan kembali,” jelasnya.