MEDIA24.ID, JAKARTA - Indonesia sejak lama dikenal sebagai negara yang dianugerahi kekayaan sumber daya alam melimpah. Dari rempah-rempah yang memicu kolonialisme, hingga minyak, gas, batu bara, dan kini nikel yang menjadi komoditas strategis global, kekayaan alam selalu hadir sebagai harapan menuju kesejahteraan.
Namun sejarah justru menunjukkan paradoks yang berulang: setiap lonjakan harga komoditas kerap berujung pada ilusi kemakmuran, kata Arief Poyuono Pengamat Politik dan Ekonomi Partai Gerindra dan Komisaris PT Pelindo dalam keterangannya kepada wartawan pada Jumat, 19 Desember 2025.
Menurut Arief Poyuono Euforia akibat booming sumber daya alam sering kali tidak diikuti transformasi ekonomi yang berkelanjutan.
Baca Juga: Badan Bahasa dan Pemda NTB Perkuat Kolaborasi Empat Ranah Strategis Kebahasaan
Ketika harga komoditas anjlok, ketergantungan pun kembali menjerat, meninggalkan struktur ekonomi yang rapuh. Indonesia terbukti piawai dalam mengeksploitasi, tetapi kerap tertinggal dalam mengelola hasilnya secara strategis.
"Pola ini mencerminkan gejala klasik yang dikenal sebagai Dutch Disease, Penyakit ekonomi yang lazim menimpa negara kaya sumber daya. Oleh karena itu, perdebatan seputar hilirisasi minerba, massifnya izin tambang, hingga euforia nikel sejatinya merupakan bagian dari persoalan struktural yang lebih besar: bagaimana negara mengelola kekayaan alamnya secara kelembagaan," papar Arief.
- Ketika Booming Menjadi Bumerang
Konsep Dutch Disease pertama kali muncul dari pengalaman Belanda pada 1960-an. Penemuan gas alam berskala besar justru menyebabkan distorsi ekonomi akibat derasnya aliran devisa yang mendorong apresiasi mata uang.
Akibatnya, sektor manufaktur dan industri non-sumber daya kehilangan daya saing, sementara ekonomi menjadi timpang dan rentan saat harga komoditas turun.
Fenomena serupa dialami Nigeria dan Venezuela, di mana kekayaan alam tanpa tata kelola institusional yang kuat berubah menjadi kutukan pembangunan. Indonesia pun tidak sepenuhnya kebal.
Meski kontribusi sektor tambang terhadap PDB dan penyerapan tenaga kerja relatif terbatas, daya tarik politik-ekonominya sangat besar dan kerap mendominasi arah kebijakan.
"Masalahnya bukan semata niat buruk, melainkan desain kelembagaan yang belum siap mengelola limpahan kekayaan secara berkelanjutan," ujar Arief.
- Pasal 33 dan Negara yang Terjebak Logika Perizinan
Artikel Terkait
Prabowo Resmi Luncurkan BPI Danantara, Rosan Roeslani Jadi CEO
Danantara: Bisakah Atasi Konflik Kepentingan dan Minimnya Pengawasan
Danantara dan Krisis Kepercayaan Investor: Antara Rangkap Jabatan Menteri dan Gimmick Politik Mantan Presiden
Perkuat Masa Depan Danantara, Prabowo Gandeng Investor Global dan Pengusaha Indonesia
Perkuat Ekonomi Indonesia, Danantara Menjadi Kendaraan Sejarah Menuju Masa Depan