Idulfitri dan Spirit Kerukunan: Menjadi Pribadi yang Damai

Photo Author
- Selasa, 1 April 2025 | 12:32 WIB
Muhammad Adib Abdushomad, Kepala Pusat Kerukanan Umat Beragama Kemenag RI. (Foto/Dok/Kemenag)
Muhammad Adib Abdushomad, Kepala Pusat Kerukanan Umat Beragama Kemenag RI. (Foto/Dok/Kemenag)

Muhammad Adib Abdushomad
Kepala Pusat Kerukanan Umat Beragama Kemenag RI dan Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Madani Global Citizenship (MGC)Rempoa-Tangsel)

KITA semua telah menyaksikan bahwa pada 2025 ini penentuan awal Ramadan dan awal Syawal sangat merefleksikan suasana kebersamaan yang dirangkum dalam sidang Istbat Kemenag RI.

Tentu ada beberapa kelompok kecil di luar mainstream umat Islam yang telah lebih dahulu merayakan Idulfitri pada Ahad, bahkan ada yang Kamis dan Jum’at lalu.

Tulisan ini tidak membahas perbedaan dan dinamika penetapan awal puasa dan Idulfitri, namun ingin menangkap pesan esensi kerukunan dan perdamaian dalam perayaan lebaran.

Peringantan Idulfitri adalah penanda telah berakhirnya puasa Ramadan selama kurang lebih satu bulan bagi umat Islam. Setelah sebulan lamanya kurikulum Ramadan dilalui, tentu ada ekspektasi akan kemenangan ataupun dampak yang didapatkan setelah berpuasa.

Oleh karenannya Idulfitri adalah momentum sakral yang menandai kemenangan spiritual setelah menjalani ibadah puasa Ramadan dengan berbagai paket Ibadah dan kebaikan-kebaikan yang dilakukan, bahkan diharapkan menjadi semacam kebiasaan (habitus) yang akan menjadi perisai setelah puasa Ramadan.

Puasa Ramadan tentu saja lebih dari sekadar seremoni keagamaan. Karena ia adalah stepping stone atau semacam jembatan untuk tindakan-tindakan kebaikan berikutnya setelah berakhirnya puasa Ramadan.

Dengan pendekatan ini, maka tidak akan “memutus mata rantai kebaikan”. Artinya bagi umat Islam yang berpuasa Ramadan secara utuh dan sungguh-sungguh, maka dia tidak saja menjadi pribadi baik selama bulan suci Ramadan tiba, tapi justru puasa Ramadan yang telah dijalaninya membekas dan menjadi bekal 11 bulan yang akan datang.

Untuk memberikan ciri setelah selasai puasa Ramadan, ada semacam rangkaian penanda yakni proses wisuda kolektif peringatan Idulfitri. Bagi sebagaian orang tanda Idulfitri ini telah “direduksi” dengan pakaian baru, atau mobil yang baru dan aspek materialistik dan terkadang hedonistik lainnya.

Idulfitri seharusnya semakin menambah kekuatan iman dan spirit ketaqwaan yang terbarukan dalam pribadi umat Islam yang beriman. Untuk itu, pemaknaan Idulfitri harus di-extended ke arah nilai-nilai universal agar tidak menodai proses puasa dan kebaikan-kebaikan yang telah dijalankan sebulan penuh selama Ramadan.

Idulfitri dan Komitmen Kebangsaan

Peringatan Idulfitri itu sendiri mengandung makna secara filosofis untuk kembali ke fitrah kemanusiaan, yaitu kesucian jiwa dan keterhubungan sosial yang harmonis. Dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia, semangat Idulfitri semestinya menjadi jalan untuk memperkuat kerukunan dan meneguhkan komitmen kebangsaan.

Namun demikian, tantangan kerukunan sosial yang terus mengemuka, baik dalam bentuk polarisasi politik maupun gesekan antarkelompok, menjadi ironi yang harus dikritisi.

Secara filosofis, makna kembali ke fitri dapat dipahami sebagai upaya manusia untuk kembali kepada hakikat kemanusiaannya yang asli: mencintai kebaikan, keadilan, dan perdamaian.

Halaman:

Editor: Moh Purwadi

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Terkini

Imperatif Obligation dan Ekologi Integral

Senin, 8 Desember 2025 | 20:40 WIB

Argumen Pembentukan Ditjen Pesantren

Minggu, 26 Oktober 2025 | 18:40 WIB

Reformasi DPR: Desakan yang Kian Tak Terbendung

Kamis, 2 Oktober 2025 | 09:01 WIB

Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 14:14 WIB

Isbat Nikah dan Pencatatan Perkawinan

Senin, 28 April 2025 | 10:15 WIB

Lebaran, Liburan, dan Kontraksi Sosial

Minggu, 6 April 2025 | 17:22 WIB

Lebaran dan Kompetisi Konsumeristik

Selasa, 1 April 2025 | 12:19 WIB
X