Reformasi DPR: Desakan yang Kian Tak Terbendung

Photo Author
- Kamis, 2 Oktober 2025 | 09:01 WIB
Wicipto Setiadi, Guru Besar FH UPN Veteran Jakarta dan Dewan Pakar Jimly School of Law and Government (JSLG). (Foto/Dok/Pribadi)
Wicipto Setiadi, Guru Besar FH UPN Veteran Jakarta dan Dewan Pakar Jimly School of Law and Government (JSLG). (Foto/Dok/Pribadi)

 

Wicipto Setiadi
Guru Besar FH UPN Veteran Jakarta dan
Dewan Pakar Jimly School of Law and Government (JSLG)

GELOMBANG desakan publik agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjalani reformasi semakin menguat dalam beberapa waktu terakhir. Kritik yang semula bersifat sporadis kini berubah menjadi tekanan yang lebih sistematis.

Sorotan publik bukan hanya pada kualitas legislasi—mulai dari proses penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang kerap minim partisipasi bermakna hingga produk hukum yang digugat ke Mahkamah Konstitusi—tetapi juga pada standar etik wakil rakyat, transparansi, serta akuntabilitas penggunaan anggaran.

Fenomena ini tidak terlepas dari menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap parlemen, yang kerap dipersepsikan lebih sibuk mengurusi kepentingan politik ketimbang menjalankan amanat rakyat.

Sejumlah survei opini publik menunjukkan DPR konsisten menempati posisi rendah dalam hal kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara. Kondisi ini semakin menegaskan adanya jurang yang kian lebar antara rakyat dengan wakilnya.

Di ruang publik, kritik paling sering diarahkan pada perilaku anggota DPR yang dianggap elitis, gemar memamerkan kemewahan, hingga sibuk mencari panggung politik alih-alih fokus pada legislasi dan pengawasan.

Krisis kepercayaan ini diperparah oleh berbagai polemik legislasi, mulai dari pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja, revisi KUHP, hingga sejumlah regulasi yang dinilai lebih menguntungkan elite dibanding rakyat.

Tuntutan Reformasi

Desakan agar DPR direformasi bukan sekadar wacana akademik, melainkan sudah menjadi aspirasi luas masyarakat sipil. Beberapa tuntutan yang mengemuka antara lain: pertama, transparansi dan akuntabilitas – proses legislasi diharapkan terbuka sejak perencanaan hingga pengesahan, termasuk akses publik terhadap draf RUU.

Kedua, etika dan integritas anggota – penerapan kode etik yang ketat untuk mencegah perilaku tidak pantas dan gaya hidup berlebihan. Solusi untuk mengatasi pola hidup mewah anggota DPR tidak cukup hanya dengan aturan formal, melainkan harus dipadukan dengan budaya politik sederhana, sanksi nyata, dan pengawasan publik.

Tanpa kombinasi itu, reformasi DPR hanya akan berhenti pada jargon. Pimpinan DPR harus memberi teladan dalam gaya hidup sederhana. Keteladanan di level pimpinan akan menular ke anggota lain, sekaligus menekan budaya hedonisme di lembaga legislatif.

Ketiga, perbaikan fungsi representasi – DPR dituntut kembali ke khitahnya sebagai wakil rakyat, bukan sekadar perpanjangan tangan partai politik. Keempat, reformasi kelembagaan – dorongan agar sistem rekrutmen caleg dan mekanisme internal DPR diperbaiki sehingga menghasilkan legislator yang lebih kompeten.

Pengamat politik dan hukum tata negara menilai reformasi DPR adalah kebutuhan mendesak. Menurut mereka, tanpa perubahan signifikan, DPR akan terus terjebak dalam krisis legitimasi.

Halaman:

Editor: Moh Purwadi

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Tags

Terkini

Imperatif Obligation dan Ekologi Integral

Senin, 8 Desember 2025 | 20:40 WIB

Argumen Pembentukan Ditjen Pesantren

Minggu, 26 Oktober 2025 | 18:40 WIB

Reformasi DPR: Desakan yang Kian Tak Terbendung

Kamis, 2 Oktober 2025 | 09:01 WIB

Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 14:14 WIB

Isbat Nikah dan Pencatatan Perkawinan

Senin, 28 April 2025 | 10:15 WIB

Lebaran, Liburan, dan Kontraksi Sosial

Minggu, 6 April 2025 | 17:22 WIB

Lebaran dan Kompetisi Konsumeristik

Selasa, 1 April 2025 | 12:19 WIB
X