Ahmad Tholabi Kharlie
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BEBERAPA waktu terakhir, jalan-jalan di sejumlah kota besar kembali dipenuhi massa. Aksi demonstrasi yang sejatinya menjadi saluran aspirasi yang wajar dan konstitusional, kerap berkembang ke arah yang lebih keras, yakni perusakan fasilitas umum, penyerangan aparat, bahkan bentrokan antarkelompok masyarakat.
Kita menyaksikan betapa rentan situasi keamanan nasional ketika kanal politik dan sosial tidak mampu menyalurkan aspirasi secara sehat.
Fenomena ini bukan sekadar dinamika politik sesaat. Ia mengandung pesan yang lebih serius tentang ancaman keamanan dan disintegrasi bangsa. Polarisasi yang semakin tajam, baik di ruang nyata maupun ruang digital, menjadi api dalam sekam yang mudah tersulut oleh isu-isu politik, ekonomi, dan agama. Bila dibiarkan, ia dapat merusak sendi-sendi kebangsaan yang telah lama kita bangun.
Menimbang Akar Masalah
Aksi massa yang berujung pada kerusuhan bukan hanya merugikan negara secara finansial, karena infrastruktur publik yang rusak mesti diperbaiki dengan biaya tidak sedikit, tetapi juga meninggalkan luka sosial yang sulit dipulihkan. Masyarakat merasa tidak aman, sektor ekonomi terganggu, bahkan hubungan sosial yang semula rukun dapat berubah menjadi saling curiga.
Kondisi ini menimbulkan paradoks. Di satu sisi, demokrasi menjamin hak warga negara untuk menyampaikan pendapat, berkumpul, dan berserikat. Namun di sisi lain, ketika ekspresi itu melampaui batas hukum dan moral, justru yang muncul adalah ketidakadilan baru. Hak masyarakat luas untuk hidup tenang dan aman menjadi terganggu. Inilah dilema klasik yang terus menghantui demokrasi kita.
Sejarah menunjukkan bahwa bangsa yang besar tidak runtuh karena serangan dari luar, melainkan dari keretakan internal. Ketika kelompok-kelompok masyarakat lebih mengedepankan ego sektoral dan kepentingan politik pragmatis mendominasi wacana publik, maka benih disintegrasi akan tumbuh.
Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam menghadapi potensi disintegrasi. Konflik horizontal di Maluku, Poso, Aceh, hingga Papua menjadi pengingat bahwa rapuhnya kohesi sosial bisa berujung pada tragedi kemanusiaan.
Kini, kita menghadapi tantangan baru bahwa disintegrasi bukan hanya soal fisik dan teritorial, melainkan juga disintegrasi kesadaran kebangsaan. Di era media sosial, hoaks dan ujaran kebencian dapat dengan cepat meruntuhkan rasa persaudaraan yang telah lama terbangun.
Kita perlu jujur bahwa demonstrasi yang marak belakangan ini tidak muncul dalam ruang hampa. Ada kekecewaan publik terhadap kebijakan, ada ketidakpuasan atas distribusi kesejahteraan, ada rasa ketidakadilan dalam proses politik.
Aspirasi yang tidak tersalurkan dengan baik kerap mencari jalannya sendiri melalui jalanan. Tentu tidak menafikan keterlibatan pihak-pihak tertentu yang diuntungkan sebagai penumpang gelap.
Namun, solusi yang digunakan tidak bisa sekadar represif. Mengandalkan aparat keamanan semata hanya akan menimbulkan siklus kekerasan yang tidak produktif. Yang lebih dibutuhkan adalah kanal dialog yang sehat, kebijakan publik yang adil, serta ruang partisipasi yang terbuka.