Muhamad Arif Hadiwinata
Pengamat Kebijakan Publik
KABUPATEN Mimika, dengan ibu kotanya Timika, merupakan salah satu wilayah dengan potensi sumber daya alam dan manusia yang luar biasa di Papua Tengah. Meski dikenal sebagai rumah bagi tambang emas terbesar di dunia, pembangunan manusia di Timika masih menghadapi tantangan besar.
Untuk menjawabnya, pengembangan sumber daya manusia (SDM) harus ditempatkan sebagai jantung pembangunan, bukan hanya sebagai pelengkap pertumbuhan ekonomi.
Menurut data BPS Kabupaten Mimika (2024), sekitar 70,99% penduduk Timika berada dalam kelompok usia produktif (15–59 tahun), dengan total penduduk sekitar 316 ribu jiwa.
Ini merupakan peluang emas: bonus demografi yang dapat menjadi penggerak utama pembangunan daerah jika diiringi dengan peningkatan kapasitas dan kualitas SDM-nya.
Namun bonus ini bukanlah jaminan. Tanpa perencanaan dan intervensi yang memadai, usia produktif ini justru dapat menjadi beban sosial dan ekonomi. Maka, pendidikan, pelatihan, dan akses terhadap lapangan kerja yang layak menjadi kebutuhan mendesak.
Lebih dari itu, bonus demografi menuntut sistem pendidikan dan ketenagakerjaan yang adaptif. Apakah anak-anak muda Timika hari ini memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan masa depan? Apakah sistem pelatihan kerja sudah menjangkau distrik-distrik yang terpencil?
Tanpa strategi yang terfokus dan inklusif, potensi demografi ini bisa berubah menjadi bom waktu sosial. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan SDM tidak bisa ditunda.
Perlu ada peta jalan yang jelas untuk memberdayakan usia produktif secara menyeluruh—mulai dari pendidikan dasar hingga pelatihan vokasi dan peluang kerja yang bermakna.
Kekuatan Ekonomi: PDRB dan Fiskal yang Kuat
Kabupaten Mimika memiliki PDRB per kapita sebesar Rp446,33 juta per tahun (2024), menjadikannya salah satu kabupaten dengan tingkat ekonomi tertinggi di Indonesia.
APBD Mimika juga tergolong besar, mencapai lebih dari Rp5 triliun pada tahun 2023. Dengan kekuatan fiskal seperti ini, potensi untuk berinvestasi dalam pembangunan manusia sangatlah besar.
Namun ironisnya, tingginya angka PDRB belum sepenuhnya berbanding lurus dengan pemerataan kesejahteraan. Banyak distrik dan kampung di Timika masih tertinggal dalam akses pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar.
Kondisi ini mencerminkan bahwa pertumbuhan ekonomi belum inklusif. Nilai ekonomi tinggi lebih banyak bersumber dari sektor pertambangan, yang belum sepenuhnya terhubung dengan kehidupan masyarakat akar rumput. Investasi negara dan daerah harus diarahkan untuk menciptakan konektivitas antara kekuatan fiskal dengan pembangunan manusia.