Lembaga Pengelola Regulasi: Solusi Mandeknya Hukum atau Sekadar Wacana?

Photo Author
- Kamis, 17 Juli 2025 | 21:49 WIB
Wicipto Setiadi, Guru Besar FH UPN Veteran Jakarta dan Dosen STIH Litigasi (Foto/Dok Pribadi)
Wicipto Setiadi, Guru Besar FH UPN Veteran Jakarta dan Dosen STIH Litigasi (Foto/Dok Pribadi)

 

Wicipto Setiadi
Guru Besar FH UPN Veteran Jakarta dan Dosen STIH Litigasi

DI TENGAH derasnya arus regulasi di Indonesia, muncul wacana pembentukan lembaga pengelola regulasi sebagai upaya menyederhanakan, menata, dan meningkatkan kualitas produk hukum nasional.

Gagasan ini tak sepenuhnya baru - sudah mengemuka sejak beberapa tahun lalu, namun tak kunjung terealisasi. Lantas, apakah lembaga ini benar-benar solusi atas stagnasi hukum di Indonesia, atau hanya sebatas wacana yang layu sebelum berkembang?

Tumpang tindih regulasi di Indonesia merupakan masalah lama yang tak kunjung usai. Indonesia dikenal dengan julukan “negara regulasi” bukan tanpa sebab.

Saat ini terdapat banyak peraturan yang tumpang tindih, kontradiktif, bahkan saling meniadakan satu sama lain. Akibatnya, kepastian hukum melemah, daya saing terganggu, dan investasi sering kali terhambat oleh ketidakjelasan regulasi.

Salah satu contoh nyata adalah dalam sektor usaha kecil dan menengah (UKM). Seorang pelaku usaha bisa saja dihadapkan pada peraturan dari pemerintah pusat, provinsi, hingga kabupaten yang tidak sinkron.

Pada akhirnya, mereka harus memilih antara mematuhi satu aturan dan melanggar aturan lainnya. Akibatnya, para pelaku UMKM merasakan betapa “ribet” nya regulasi di sektor UMKM, sehingga akibat selanjutnya usaha di sektor UMKM tidak bergerak maju.

Mengapa dibutuhkan lembaga khusus pengelola regulasi? Gagasan membentuk lembaga khusus yang mengelola regulasi bertolak dari kebutuhan untuk memastikan bahwa setiap peraturan yang dibuat tidak hanya selaras secara vertikal (antara pusat dan daerah), tetapi juga konsisten secara horizontal (antarsektor).

Lembaga ini diharapkan mampu: melakukan regulatory review terhadap peraturan yang sudah ada; menyederhanakan regulasi yang berlebihan (overregulation); meningkatkan transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi; mengharmonisasikan aturan lintas sektor dan tingkat pemerintahan; dan menjamin bahwa setiap kebijakan dilandasi oleh kajian berbasis data dan dampak.

Beberapa negara telah berhasil menerapkan model serupa. Korea Selatan memiliki Regulatory Reform Committee (RRC), yang bertugas menyaring setiap regulasi baru dan menghapus aturan lama yang tidak relevan. Uni Eropa pun telah lama menerapkan prinsip Better Regulation untuk meningkatkan efektivitas kebijakan publik.

Karakteristik Ideal

Meskipun gagasan sudah lama muncul bahkan UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan setelah diubah sudah memberikan dasar hukum yang kuat, kenapa lembaga tersebut belum juga terwujud?

Gagasan ini mengemuka dalam berbagai diskusi kebijakan, bahkan sempat masuk dalam agenda reformasi regulasi pemerintah, pembentukan lembaga pengelola regulasi belum juga terealisasi.

Halaman:

Editor: Moh Purwadi

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Tags

Terkini

Imperatif Obligation dan Ekologi Integral

Senin, 8 Desember 2025 | 20:40 WIB

Argumen Pembentukan Ditjen Pesantren

Minggu, 26 Oktober 2025 | 18:40 WIB

Reformasi DPR: Desakan yang Kian Tak Terbendung

Kamis, 2 Oktober 2025 | 09:01 WIB

Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 14:14 WIB

Isbat Nikah dan Pencatatan Perkawinan

Senin, 28 April 2025 | 10:15 WIB

Lebaran, Liburan, dan Kontraksi Sosial

Minggu, 6 April 2025 | 17:22 WIB

Lebaran dan Kompetisi Konsumeristik

Selasa, 1 April 2025 | 12:19 WIB
X