Wicipto Setiadi
Guru Besar FH UPN Veteran Jakarta dan Dewan Pakar Jimly School of Law and Government (JSLG)
PRESIDEN Prabowo Subianto baru-baru ini kembali menegaskan komitmennya di bidang hukum, yaitu untuk menegakkan UUD 1945 dan hukum secara tegas — bahkan jika penegakan itu harus “menyasar” orang-orang dekatnya.
Pernyataan ini memberi sinyal kuat tentang arah politik hukum pemerintahan: ada tekad untuk menegakkan aturan tanpa pengecualian. Namun, antara retorika kepemimpinan dan realitas praktik penegakan hukum terdapat sejumlah tantangan struktur, kelembagaan, dan hak asasi yang harus diantisipasi agar ketegasan itu tidak berubah menjadi penegakan yang diskriminatif atau sewenang-wenang.
Makna konstitusional dari “menjalankan UUD 1945”
Menegakkan UUD 1945 berarti lebih dari sekadar menindak pelanggar; ia menuntut kepastian hukum, persamaan di depan hukum, dan perlindungan hak dasar warga negara — ketiga prinsip yang menjadi inti negara hukum Indonesia.
Dalam praktiknya, konstitusi menempatkan hukum sebagai panglima (nomokrasi), sehingga tindakan negara harus berlandaskan aturan yang jelas, prosedural, dan dapat diawasi. Tanpa penguatan prinsip-prinsip ini, pernyataan ketegasan berisiko menjadi legitimasi bagi tindakan ad-hoc.
Tantangan kelembagaan: independensi lembaga penegak dan kapasitas pengawasan
Arah politik untuk “tidak ragu” menegakkan hukum menuntut lembaga penegak yang profesional, independen, dan bebas dari intervensi politik. Namun sejumlah kajian dan laporan menunjukkan tekanan dan kelemahan di sektor penegakan hukum — termasuk dinamika yang memengaruhi efektivitas pemberantasan korupsi dan independensi pengawas internal.
Pelemahan kelembagaan atau penempatan orang-orang yang dekat kekuasaan di posisi pengawas dapat mengurangi kredibilitas setiap upaya penegakan “tanpa pandang bulu”. Oleh karena itu, komitmen politik mesti diikuti oleh penguatan kelembagaan: rekrutmen berbasis integritas, mekanisme akuntabilitas internal, dan transparansi proses penegakan.
Risiko diskriminasi dan penyalahgunaan: dari retorika ke praktik
Ambiguitas istilah “menyasar orang-orang dekat” bisa dipahami dua arah: sebagai penegasan bahwa tidak ada orang yang kebal hukum, atau sebagai peringatan yang bisa dipolitisasi untuk menekan lawan. Sejarah dan pengalaman menunjukkan bahwa penegakan yang dipengaruhi pertimbangan politik atau selektivitas dapat mengikis kepercayaan publik dan menimbulkan tuduhan balas dendam politik.
Selain itu, perubahan prosedural atau pemberian wewenang tambahan kepada aparat tanpa pengawasan yudisial yang memadai dapat membuka ruang penyalahgunaan, misalnya penggunaan kekuatan untuk membungkam kritik atau membidik kelompok tertentu. Laporan HAM dan pengawasan internasional bahkan mencatat kekhawatiran tentang kebebasan sipil apabila tindakan penegakan tidak diimbangi dengan perlindungan hak asasi.
Keseimbangan antara efektivitas dan perlindungan hak: hal yang harus dijaga