Wicipto Setiadi
Guru Besar FH UPN Veteran Jakarta
GUNA melaksanakan kewenangan penyadapan, Kejaksaan Agung menandatangani nota kesepakatan dengan empat penyedia layanan telekomunikasi. Dengan pemberitaan tersebut di media masa Kembali Kejaksaan menjadi sorotan publik terkait dengan kewenangan penyadapan.
Wacana dan dugaan praktik penyadapan oleh lembaga penuntut umum ini memantik perdebatan yang hangat, yaitu apakah tindakan tersebut bagian dari upaya penegakan hukum yang sah, atau justru merupakan bentuk penyimpangan terhadap prinsip-prinsip negara hukum?
Dalam negara hukum, tidak ada kekuasaan yang tanpa batas. Semua wewenang harus tunduk pada prinsip legalitas, akuntabilitas, dan penghormatan terhadap HAM. Karena itulah, rencana penyadapan oleh Kejaksaan layak menjadi perhatian serius publik.
Kita tidak menafikan bahwa penegakan hukum membutuhkan instrumen yang kuat. Di tengah kompleksitas tindak pidana seperti korupsi dan kejahatan terorganisasi, alat seperti penyadapan bisa menjadi elemen penting untuk membongkar skema kejahatan yang rapi dan tertutup. Namun, urgensi tidak boleh mengaburkan batas konstitusional.
Penyadapan dan Kewenangan Hukum
Penyadapan, dalam konteks hukum, merupakan tindakan membatasi hak privasi seseorang untuk memperoleh informasi demi kepentingan penegakan hukum. Karena menyentuh hak asasi yang fundamental, penyadapan hanya dapat dilakukan oleh lembaga yang secara tegas diberi kewenangan oleh UU, dengan mekanisme kontrol yang ketat.
Selama ini, lembaga yang memiliki kewenangan penyadapan secara eksplisit adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Intelijen Negara (BIN), dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang dilaksanakan dengan pengawasan dan prosedur hukum yang ketat, antara lain berdasarkan UU Tindak Pidana Korupsi, UU Intelijen Negara, dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun, bagaimana dengan Kejaksaan?
Urgensi vs Legalitas
Tak bisa disangkal bahwa penyadapan menjadi senjata ampuh dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi, narkotika, dan tindak pidana terorganisasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah contoh nyata: kewenangan penyadapan yang dimilikinya menjadi pembeda utama dibanding lembaga penegak hukum lain. Banyak kasus besar terbongkar bukan karena pengakuan pelaku, melainkan bukti rekaman komunikasi.
Namun, yang patut digarisbawahi adalah KPK memiliki dasar hukum eksplisit untuk melakukan penyadapan, yakni dalam UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK. Demikian juga Kepolisian dan BIN memiliki dasar hukum untuk menyadap, dalam ruang lingkup dan mekanisme tertentu.
Sementara itu, Kejaksaan - meski memiliki kewenangan penyidikan dalam kasus-kasus khusus seperti korupsi dan pelanggaran HAM berat - tidak memiliki dasar hukum eksplisit untuk melakukan penyadapan. Baik dalam UU Kejaksaan, KUHAP, maupun peraturan pelaksana lainnya, tidak ditemukan ketentuan yang secara tegas memberikan otoritas tersebut.
Dengan demikian, jika Kejaksaan tetap melakukan penyadapan tanpa dasar hukum yang sah, maka hal ini dapat dikualifikasikan sebagai penyimpangan kewenangan (ultra vires) dan bahkan pelanggaran terhadap hak privasi dan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang dilindungi konstitusi. Selain itu, juga berpotensi bertentangan dengan asas legalitas (legality principle) dan prinsip due process of law.
Antara Urgensi dan Potensi Penyalahgunaan