M. Ishom el Saha
Rektor UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten
PESANTREN adalah wajah asli pendidikan Islam di Indonesia. Dari masa ke masa, pesantren telah berperan besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, membangun karakter, dan menjaga semangat kebangsaan.
Tapi di balik peran besarnya itu, perhatian negara terhadap pesantren belum sepenuhnya seimbang. Sudah waktunya kita bertanya serius: mengapa pesantren, yang jumlahnya puluhan ribu, belum punya lembaga setingkat direktorat jenderal di Kementerian Agama?
Menurut data terbaru Kementerian Agama (2024/2025), ada 42.433 pondok pesantren aktif di Indonesia. Jumlah ini meningkat signifikan dibanding satu dekade lalu.
Provinsi dengan jumlah pesantren terbanyak adalah Jawa Barat (13.005 pesantren), disusul oleh Jawa Timur (7.347) dan Banten (6.776). Angka ini mencerminkan bahwa pesantren adalah realitas besar yang tidak bisa terus dianggap "pinggiran" dalam sistem pendidikan nasional.
Dari jumlah tersebut, jutaan santri hidup dan belajar di lingkungan pesantren. Di Jawa Timur saja, terdapat lebih dari 320 ribu santri mukim, dan ratusan ribu lainnya belajar secara tidak menetap.
Artinya, pesantren telah menjadi rumah kedua bagi jutaan anak muda Indonesia—bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk membentuk kepribadian dan keterampilan hidup.
Namun, banyak pesantren masih menghadapi tantangan berat. Sebagian besar masih dikelola secara swadaya, dengan keterbatasan fasilitas, minim dukungan teknologi, dan tenaga pendidik yang belum semuanya tersertifikasi.
Data Balitbang Kemenag menunjukkan, lebih dari 60% guru di pesantren belum bergelar sarjana. Ini bukan soal mutu individu, tapi soal akses pendidikan yang belum merata.
Padahal, sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, negara secara sah mengakui fungsi strategis pesantren dalam pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Tapi sayangnya, implementasi UU ini masih lambat.
Belum ada struktur birokrasi yang benar-benar fokus menjalankan mandat besar itu. Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren yang sekarang ada, masih digabung dengan pendidikan lain dan memiliki keterbatasan wewenang.
Bayangkan jika ada satu Direktorat Jenderal Pondok Pesantren yang fokus mengurus pesantren secara khusus—mulai dari peningkatan kualitas pendidikan, pelatihan guru, pengembangan kurikulum, hingga transformasi digital.
Lembaga ini akan menjadi jembatan antara pemerintah dan dunia pesantren dalam merumuskan kebijakan yang sesuai kebutuhan lapangan.
Selain pendidikan, peran pesantren dalam dakwah dan pemberdayaan ekonomi masyarakat juga patut mendapat perhatian. Banyak pesantren kini memiliki koperasi, usaha tani, peternakan, hingga program santripreneur.