Redesain Epistemik: Menguatkan Integrasi Nalar, Nurani, dan Negeri dalam Kurikulum PTKIN

Photo Author
- Rabu, 21 Mei 2025 | 07:49 WIB
Khodijah Hulliyah, Ph.D., Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerja Sama, Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Foto/Dok/Pribadi)
Khodijah Hulliyah, Ph.D., Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerja Sama, Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Foto/Dok/Pribadi)

 

Oleh: Khodijah Hulliyah, Ph.D.
Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerja Sama, Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

 

TULISAN ini mengandung substansi setara dengan dengan essay saya di kemenag.go.id (18/5), berjudul "Kurikulum Tiga Dimensi: Integrasi Keilmuan, Keislaman dan Keindonesiaan." Bedanya, tulisan sekarang membangun kronologis gagasan dari tokoh-tokoh kunci pemikiran integrasi.

Awalnya saya ingin tahu mendalam dialog realitas dan konsepsi kurikulum di PTKIN. Bahwa Indonesia sedang menghadapi tantangan sosial besar: disrupsi teknologi, polarisasi identitas, kemiskinan struktural, dan krisis etika publik.

Padahal jelang Indonesia Emas 2045, bangsa ini memerlukan SDM yang tak hanya cerdas akademiknya, tetapi juga harus tangguh spiritual dan integritas kebangsaannya.

Namun disinyalir, realitas di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) justru memperlihatkan fragmentasi epistemologis: sains dan agama masih berjalan di rel paralel, sementara kebangsaan diperlakukan sebagai pelengkap pembelajaran.

Nah, kurikulum integratif yang semestinya menjembatani dikotomi ini diduga masih sering bersifat normatif dan instrumentatif. Sehingga substansi trilogi nalar, nurani dan negeri masih melenggang sendiri-sendiri.

Krisis Epistemik

Oleh karena itu, secara epistemologis kurikulum integratif mendapatkan kritik dari dua sudut penting. Pertama, reduksionisme agama ke dalam bingkai moralitas personal. Agama bukan sebagai sumber epistemik yang aktif membentuk paradigma keilmuan. Nilai-nilai Islam hanya sering disisipkan secara dekoratif.

Kedua, cenderung terjadi pengabaian terhadap dinamika ilmu pengetahuan mutakhir—seperti Artificial Intelligence, neuroscience, climate studies, dan bioetika—yang memerlukan dialog serius antara wahyu dan akal, antara teks dan konteks. Maka kurikulum kita kerap tertinggal oleh kecepatan zaman dan sering tidak menjawab realitas sosial.

Akibatnya, integrasi sering berhenti sebagai wacana ideal tanpa praksis konkret. Padahal, ke depan, bangsa Indonesia akan menghadapi tantangan pasca-2045: revolusi teknologi berbasis AI, pergeseran geopolitik global, ancaman krisis lingkungan, dan transformasi nilai akibat globalisasi budaya.

Semua itu memerlukan kader bangsa yang tidak hanya berpengetahuan, tetapi juga berkarakter, berpikir kritis, dan memiliki akar spiritual serta memiliki komitmen kebangsaan yang kuat.

Pilar Gagasan Kunci

Halaman:

Editor: Moh Purwadi

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Tags

Terkini

Imperatif Obligation dan Ekologi Integral

Senin, 8 Desember 2025 | 20:40 WIB

Argumen Pembentukan Ditjen Pesantren

Minggu, 26 Oktober 2025 | 18:40 WIB

Reformasi DPR: Desakan yang Kian Tak Terbendung

Kamis, 2 Oktober 2025 | 09:01 WIB

Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 14:14 WIB

Isbat Nikah dan Pencatatan Perkawinan

Senin, 28 April 2025 | 10:15 WIB

Lebaran, Liburan, dan Kontraksi Sosial

Minggu, 6 April 2025 | 17:22 WIB

Lebaran dan Kompetisi Konsumeristik

Selasa, 1 April 2025 | 12:19 WIB
X