Membangun Kepercayaan Publik: Saatnya Polri Berbenah Total

Photo Author
- Senin, 15 September 2025 | 21:24 WIB
Wicipto Setiadi, Guru Besar FH UPN Veteran Jakarta dan Dewan Pakar Jimly School of Law and Government (JSLG) (Foto/Dok/Pribadi)
Wicipto Setiadi, Guru Besar FH UPN Veteran Jakarta dan Dewan Pakar Jimly School of Law and Government (JSLG) (Foto/Dok/Pribadi)

Wicipto Setiadi
Guru Besar FH UPN Veteran Jakarta dan
Dewan Pakar Jimly School of Law and Government (JSLG)

 

KEPERCAYAAN publik merupakan modal sosial yang sangat berharga bagi sebuah institusi penegak hukum. Bagi Kepolisian Republik Indonesia (Polri), tingkat kepercayaan masyarakat tidak hanya menentukan legitimasi moral dalam menjalankan tugas, tetapi juga memengaruhi efektivitas dalam menjaga keamanan dan ketertiban.

Sayangnya, beberapa tahun terakhir, sejumlah kasus—mulai dari penyalahgunaan wewenang, kekerasan berlebihan, hingga keterlibatan oknum dalam praktik korupsi—telah meruntuhkan citra Polri di mata publik.

Fenomena partai coklat (parcok)—istilah satir yang ramai di media sosial untuk menyebut Polri sebagai “partai politik terselubung”—muncul karena publik menilai polisi terlalu sering masuk ke ranah politik praktis.

Satire dan meme: istilah parcok menjadi bahan humor sekaligus kritik tajam, menggambarkan hilangnya kepercayaan sebagian masyarakat. Istilah ini langsung viral beberapa waktu lalu dan menimbulkan beragam reaksi.

Kini, pertanyaan besar yang mengemuka adalah: apakah Polri siap melakukan reformasi menyeluruh untuk membangun kembali kepercayaan rakyat?

Akar Masalah: Dari Budaya Institusional hingga Pengawasan Lemah

Masalah yang dihadapi Polri bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba, tetapi sudah lama terbangun dan mengakar sampai ke bawah. Ada beberapa faktor mendasar yang kerap menjadi sorotan: pertama, budaya kekuasaan.

Dalam praktik sehari-hari, masih ada kecenderungan oknum aparat menjadikan jabatan sebagai instrumen kekuasaan, bukan sebagai amanah pelayanan.

Kedua, minimnya akuntabilitas dan transparansi. Proses penanganan perkara sering kali dianggap tidak transparan, sehingga memicu kecurigaan publik terhadap integritas penyidikan maupun putusan.

Ketiga, Sistem Pengawasan Internal yang Belum Optimal. Meskipun Polri memiliki Divisi Propam, pengawasan internal kerap dipandang lemah atau bahkan tidak independen.

Keempat, keterbatasan kapasitas dan etika aparat di lapangan. Masih sering muncul laporan terkait tindakan represif yang tidak proporsional saat menghadapi demonstrasi atau konflik masyarakat.

Data Survei: Kepercayaan Publik Masih Naik-Turun

Halaman:

Editor: Moh Purwadi

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Tags

Terkini

Imperatif Obligation dan Ekologi Integral

Senin, 8 Desember 2025 | 20:40 WIB

Argumen Pembentukan Ditjen Pesantren

Minggu, 26 Oktober 2025 | 18:40 WIB

Reformasi DPR: Desakan yang Kian Tak Terbendung

Kamis, 2 Oktober 2025 | 09:01 WIB

Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 14:14 WIB

Isbat Nikah dan Pencatatan Perkawinan

Senin, 28 April 2025 | 10:15 WIB

Lebaran, Liburan, dan Kontraksi Sosial

Minggu, 6 April 2025 | 17:22 WIB

Lebaran dan Kompetisi Konsumeristik

Selasa, 1 April 2025 | 12:19 WIB
X