Ketika Pemerintahan Harus Berdasarkan Bukti: Antara Idealisme dan Realitas Birokrasi

Photo Author
- Senin, 27 Oktober 2025 | 08:34 WIB
Wicipto Setiadi, Guru Besar FH UPN Veteran Jakarta dan Dewan Pakar Jimly School of Law and Government (JSLG)  (Foto/Dok/Pribadi)
Wicipto Setiadi, Guru Besar FH UPN Veteran Jakarta dan Dewan Pakar Jimly School of Law and Government (JSLG) (Foto/Dok/Pribadi)

Wicipto Setiadi
Guru Besar FH UPN Veteran Jakarta dan
Dewan Pakar Jimly School of Law and Government (JSLG)

 

PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto yang menegaskan bahwa ia menganut filosofi evidence-based performance — bahwa kebijakan dan komunikasi pemerintah harus didasarkan pada bukti dan hasil nyata — menimbulkan harapan sekaligus pertanyaan besar: sejauh mana janji berbasis bukti itu bisa diterjemahkan menjadi praktik pemerintahan yang konsisten di lapangan?

Dalam teori pemerintahan modern, pendekatan evidence-based policy (EBP) dianggap sebagai salah satu pilar utama pemerintahan yang efektif, efisien, dan akuntabel. Ia menuntut bahwa setiap kebijakan publik disusun, dijalankan, dan dievaluasi berdasarkan data dan temuan empiris, bukan sekadar intuisi atau tekanan politik. Namun, idealisme ini sering berhadapan dengan realitas birokrasi Indonesia yang masih jauh dari ekosistem berbasis bukti.

Filosofi “Evidence-Based Performance”: Idealisme Kepemimpinan Baru

Pernyataan Presiden Prabowo mencerminkan dua pesan penting. Pertama, adanya kesadaran untuk menjauh dari gaya pemerintahan berbasis narasi politik menuju pemerintahan yang berorientasi hasil (performance-driven government). Kedua, adanya penegasan bahwa meritokrasi—penilaian berdasarkan prestasi dan pengabdian—harus menjadi fondasi pembinaan aparatur negara.

Dalam konteks global, filosofi ini sejalan dengan praktik evidence-based governance yang diterapkan di negara-negara seperti Inggris, Kanada, atau Korea Selatan. Di sana, kebijakan publik tidak dilepaskan dari siklus riset, pengukuran capaian, serta audit independen berbasis indikator. Namun di Indonesia, penerapan prinsip serupa masih terkendala oleh sejumlah hambatan struktural dan kultural.

Realitas Birokrasi: Antara Data, Pola Lama, dan Tantangan Struktural

Filosofi pemerintahan berbasis bukti memang menjanjikan tata kelola yang lebih rasional dan terukur. Namun, ketika idealisme itu bertemu dengan realitas birokrasi Indonesia, muncul benturan antara visi dan kenyataan. Di atas kertas, pemerintahan berbasis bukti menuntut data yang valid, sistem evaluasi yang transparan, serta budaya kerja yang menghargai hasil, bukan sekadar prosedur.

Namun di lapangan, birokrasi Indonesia masih berhadapan dengan persoalan klasik, antara lain: pertama, fragmentasi dan kualitas data. Bukti membutuhkan data yang sahih, terukur, dan dapat diverifikasi. Sayangnya, ekosistem data pemerintah Indonesia masih sangat terfragmentasi. Banyak Kementerian/lembaga memiliki sistem informasi masing-masing tanpa interoperabilitas.

Akibatnya, indikator capaian sering kali tidak sinkron. Ketiadaan satu data yang sahih membuat proses pengambilan keputusan sering kali masih bersandar pada laporan manual, bukan analisis berbasis data. Di tingkat daerah, kondisi ini lebih kompleks karena keterbatasan teknologi dan SDM statistik.

Kedua, budaya birokrasi yang masih “prosedural”. Selama puluhan tahun, birokrasi Indonesia cenderung menilai keberhasilan dari kepatuhan administratif, bukan hasil nyata di lapangan. Keberhasilan pejabat sering diukur dari terserapnya anggaran atau rampungnya dokumen, bukan dari perubahan sosial-ekonomi yang dihasilkan.

Filosofi evidence-based performance menuntut perubahan radikal: dari compliance-based administration menuju outcome-based governance. Namun, perubahan budaya organisasi adalah tantangan terbesar—karena menyentuh aspek mentalitas, struktur insentif, dan bahkan politik birokrasi.

Ketiga, kapasitas analitis dan infrastruktur pengetahuan. Kebijakan berbasis bukti tidak berhenti pada ketersediaan data. Ia memerlukan kemampuan analitis—dari membaca tren, menguji hipotesis, hingga menilai efektivitas kebijakan. Namun, kapasitas ini belum merata di seluruh level birokrasi.

Halaman:

Editor: Moh Purwadi

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Tags

Terkini

Imperatif Obligation dan Ekologi Integral

Senin, 8 Desember 2025 | 20:40 WIB

Argumen Pembentukan Ditjen Pesantren

Minggu, 26 Oktober 2025 | 18:40 WIB

Reformasi DPR: Desakan yang Kian Tak Terbendung

Kamis, 2 Oktober 2025 | 09:01 WIB

Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 14:14 WIB

Isbat Nikah dan Pencatatan Perkawinan

Senin, 28 April 2025 | 10:15 WIB

Lebaran, Liburan, dan Kontraksi Sosial

Minggu, 6 April 2025 | 17:22 WIB

Lebaran dan Kompetisi Konsumeristik

Selasa, 1 April 2025 | 12:19 WIB
X