Thobib Al Asyhar, Direktur GTK Madrasah, Kemenag
ALHAMDULILLAH, mudik Lebaran telah saya lalui. Bagi saya dan keluarga, Lebaran tahun ini terasa agak istimewa. Meminjam istilah dari sebuah film komedi horor—"agak lain".
Tahun-tahun sebelumnya, kami biasa menggunakan mobil pribadi. Gantian menyetir bersama si sulung. Selain fleksibel karena bisa singgah ke mana saja, menggunakan mobil sendiri juga lebih ekonomis—lebih hemat, dan tentu saja, bisa membawa barang dalam jumlah lebih banyak.
Namun, Lebaran kali ini kami memilih untuk "tampil beda" dengan naik kereta Jakarta-Semarang PP. Mencoba merasakan mudik tanpa harus berjibaku dengan antrean dan kemacetan.
Konon katanya, jumlah pemudik tahun ini menurun 24% dibanding tahun lalu. Tapi, namanya juga mudik, tetap saja padat di mana-mana. Antrean untuk ke toilet, makan, salat, atau isi BBM di rest area masih mengular.
Apalagi kalau ingin sekadar merebahkan badan karena lelah menyetir. Semua harus dijalani dengan sabar. Konon, di situlah letak kenikmatan mudik Lebaran—begitu kata banyak orang.
Setibanya di kampung, hati kami penuh sukacita. Bisa kembali bersua dan bersambung rasa dengan saudara dan handai taulan yang sudah lama tak bertemu. Terlebih, kami memang hanya "pulkam" setahun sekali.
Saling bertukar kabar, cerita pekerjaan, dan perkembangan masing-masing. Meski begitu, kami yang datang dari kota lebih banyak mendengarkan kisah tentang kehidupan desa. Banyak hal yang berubah—baik dalam dinamika ekonomi, gaya hidup, maupun soal moralitas.
Ada cerita keberhasilan, namun tak sedikit pula kisah getir dan menyedihkan yang kami dengar. Pertama, perihal mata pencaharian masyarakat desa yang mulai bergeser.
Dulu, sumber utama penghidupan adalah dari pertanian—dan hingga kini masih ada. Tapi dalam pengamatan saya, terjadi pergeseran yang cukup nyata.
Semakin banyak penduduk desa yang beralih ingin menjadi pedagang. Bagi mereka, berdagang dianggap lebih menjanjikan dibanding bertani. Perputaran uang terasa lebih cepat.
Sementara bertani, harus sabar menunggu panen sekitar empat bulan. Itupun kalau tak terserang hama. Masalahnya, ketika semakin banyak orang ingin berdagang, justru daya beli masyarakat saat ini tengah menurun. Akibatnya, dagangan pun sepi pembeli.
Persaingan antar pedagang desa juga kian ketat. Dahulu, dengan beberapa warung klontong saja, pembeli masih ramai, bahkan rela memberi utang. Kini, jualan daring merajalela.
Setiap rumah bisa saling menawarkan dagangannya melalui grup WhatsApp atau media sosial. Jual kue seharga Rp20.000 pun bisa langsung dikirim ke pembeli. Dampaknya, warung-warung tradisional di kampung mulai kehilangan pelanggan.
Artikel Terkait
BANGUNLAH, WAHAI RAKSASA!
Peretasan Bybit Menjadi Alarm bagi Keamanan Siber Indonesia
20 Tahun Mudik Lebaran Bersepeda Motor
Pendirian Sekolah Rakyat Kemensos, Solusi atau Beban Baru Pemerintah?
Lebaran dan Kompetisi Konsumeristik
Idulfitri dan Spirit Kerukunan: Menjadi Pribadi yang Damai