Globalisasi dan derasnya arus informasi membuat kepemimpinan diuji bukan hanya pada kompetensi teknokratis, tetapi juga konsistensi moral.
Dalam era digital, rakyat semakin mudah mengawasi elite, namun pada saat yang sama, manipulasi opini publik melalui media sosial juga semakin masif.
Fenomena ini terlihat jelas dalam studi kasus runtuhnya kepercayaan publik terhadap DPR RI. Survei Indikator Politik Indonesia (2023) menunjukkan bahwa hanya 17% masyarakat yang percaya penuh pada DPR, sisanya skeptis karena praktik korupsi, konflik kepentingan, dan rendahnya etika politik.
Demokrasi akhirnya terjebak dalam prosedur formal tanpa substansi moral, menghasilkan pemimpin yang lebih mengejar kepentingan elektoral jangka pendek ketimbang kepentingan bangsa.
Restorasi sebagai Agenda Kebangsaan
Restorasi etika dan moral bukan sekadar slogan, melainkan agenda kebangsaan yang menentukan arah masa depan Indonesia. Restorasi etika dan moral bukan opsi, tapi keharusan.
Ada tiga langkah penting yang harus ditempuh, yaitu: Pertama, reformasi pendidikan politik dan karakter. Pendidikan politik harus menekankan nilai etika, tanggung jawab, dan kepedulian publik.
Menurut Dr. Yudi Latif, pakar filsafat politik, “Demokrasi tanpa etika akan kehilangan jiwa. Pemimpin bukan hanya dipilih karena suara mayoritas, tapi karena kualitas moralitasnya.”
Tanpa moral, hukum jadi topeng. Hukum bisa ditegakkan atau dipelintir sesuai kepentingan, tapi hanya moral yang memastikan keadilan benar-benar hadir.
Pemimpin lahir dari kultur politik. Pendidikan politik yang menekankan nilai etika, tanggung jawab, dan kepedulian publik harus diperkuat, tidak hanya sekadar teknis elektoral.
Kedua, penegakan hukum tanpa pandang bulu. Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang menjerat pejabat daerah hingga menteri membuktikan bahwa sistem hukum masih bekerja, namun sering dilemahkan oleh kepentingan politik.
Restorasi moral hanya mungkin tercapai jika hukum ditegakkan konsisten. Tanpa etika, demokrasi jadi pasar gelap kekuasaan. Pemilu hanya menghasilkan pemenang suara, bukan pemimpin berintegritas.
Keteladanan moral tidak bisa lahir jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Sistem hukum yang adil menjadi instrumen restorasi moral bangsa.
Ketiga, keteladanan dari elite. Rakyat meniru perilaku elite. Ketika pejabat publik kerap mempertontonkan gaya hidup mewah atau terjebak dalam skandal etika, publik kehilangan teladan.
Presiden, menteri, hingga kepala daerah dan pejabat publik lainnya harus menyadari bahwa integritas pribadi adalah modal utama untuk menggerakkan bangsa. Tanpa teladan elite, rakyat kehilangan kompas.