Transformasi besar terjadi pada 25 Februari 1963 ketika IAIN cabang Jakarta resmi menjadi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun, lompatan terbesar baru terjadi pada 20 Mei 2002.
Melalui Keputusan Presiden No. 031 Tahun 2002, IAIN Syarif Hidayatullah resmi bertransformasi menjadi UIN, dengan mandat yang diperluas untuk mengelola pelbagai bidang keilmuan umum.
Keputusan ini bukanlah hal yang mudah pada zamannya. Di tengah perdebatan akademik tentang dikotomi ilmu agama dan ilmu umum, UIN Jakarta memilih jalan tengah yang revolusioner: integrasi keilmuan.
Konsep integrasi keilmuan yang diusung UIN Jakarta sering kali menuai perdebatan. Pasalnya, paradigma ini menolak pemisahan tegas antara ilmu agama dan ilmu umum. Dalam pandangan UIN Jakarta, seluruh ilmu bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa.
Tentu saja, integrasi ini bukan sekadar slogan tapi paradigma epistemologis yang harus diterapkan dalam setiap aspek pembelajaran. Implementasinya terlihat nyata dalam kurikulum. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), misalnya, memadukan pendidikan agama Islam dengan ilmu pendidikan modern.
Sementara itu, Fakultas Sains dan Teknologi (FST) mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan seterusnya.
Untuk memastikan implementasi yang konsisten, UIN Jakarta bahkan menerbitkan Keputusan Rektor No. 864 Tahun 2017 tentang Pedoman Integrasi Keilmuan. Pedoman ini menekankan bahwa integrasi ilmu berbeda dengan Islamisasi ilmu, melainkan upaya harmonisasi yang lebih kompleks.
Tantangan Era Digital
Memasuki era kecerdasan buatan, UIN Jakarta menghadapi tantangan baru. Penggunaan AI dalam pembelajaran membawa efisiensi, namun juga risiko plagiarisme dan pelanggaran etika akademik.
Antisipasi dilakukan dengan membentuk Artificial Intelligence and Literacy Innovation Institute (ALII). Lebih konkret lagi, UIN Jakarta menerbitkan Surat Keputusan Rektor No. 127/2025 tentang Penggunaan generative artificial intelligence yang mengatur penggunaannya dalam kegiatan akademik dan non akademik.
Kebijakan ini mewajibkan mahasiswa mencantumkan atribusi yang jelas ketika menggunakan AI dalam tugas, skripsi, tesis, disertasi, maupun publikasi ilmiah. Langkah ini mencerminkan keseimbangan antara inovasi teknologi dan integritas akademik.
Visi besar UIN Jakarta tidak berhenti pada prestasi akademik. Sebagai institusi di bawah naungan Kementerian Agama, kampus ini secara aktif mendukung program strategis kementerian, termasuk “Asta Program Prioritas Kementerian Agama Berdampak” yang digagas Menteri Agama, Nasaruddin Umar.
Program ini dirancang untuk menuntaskan Asta Cita pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Salah satu fokus utamanya adalah penguatan ekoteologi, yakni penanaman kesadaran ekologis berbasis nilai keislaman yang sejalan dengan misi ketahanan pangan dan energi hijau.
Komitmen UIN Jakarta terhadap ekoteologi terlihat nyata. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, misalnya, aktif meneliti peran komunitas Muslim dalam pelestarian lingkungan. Di tingkat kampus, civitas akademika rutin mengadakan penanaman pohon sebagai wujud kesadaran ekologis di bawah koordinasi Pusat Green Campus.
Program Green Campus yang dikembangkan UIN Jakarta—hal mana menjadi salah satu program prioritas Universitas—mencakup pengelolaan energi efisien dan hibrid sepeda listrik, pengelolaan limbah, konservasi air, hingga pengembangan infrastruktur hijau. Upaya ini tidak sekadar slogan, melainkan respons konkret terhadap isu global ketahanan pangan dan energi.