Reformasi DPR: Desakan yang Kian Tak Terbendung

Photo Author
- Kamis, 2 Oktober 2025 | 09:01 WIB
Wicipto Setiadi, Guru Besar FH UPN Veteran Jakarta dan Dewan Pakar Jimly School of Law and Government (JSLG). (Foto/Dok/Pribadi)
Wicipto Setiadi, Guru Besar FH UPN Veteran Jakarta dan Dewan Pakar Jimly School of Law and Government (JSLG). (Foto/Dok/Pribadi)

Organisasi masyarakat sipil juga aktif menyuarakan kritik. Beberapa kelompok mahasiswa bahkan menghidupkan kembali semangat reformasi 1998 dengan mengingatkan bahwa DPR adalah lembaga yang seharusnya mengawasi pemerintah, bukan sebaliknya.

Tantangan Politik

Meski desakan publik kian menguat, jalan menuju reformasi DPR tidak mudah. Sebab, perubahan yang menyangkut sistem internal DPR, termasuk tata tertib, mekanisme rekrutmen, maupun perbaikan regulasi, bergantung pada kemauan politik (political will) para anggota parlemen itu sendiri.

Di sinilah paradoksnya: DPR dituntut melakukan reformasi, tetapi sekaligus menjadi “penentu” dari reformasi tersebut. Artinya, mereka yang diminta untuk berubah adalah pihak yang memiliki kewenangan untuk menentukan apakah perubahan itu akan dilakukan.

Tanpa tekanan publik yang konsisten, agenda ini berpotensi terhenti di ruang-ruang elite. Agenda reformasi berisiko terjebak sekadar jargon politik.

Partai politik adalah aktor kunci dalam reformasi DPR. Tanpa komitmen parpol untuk memperbaiki rekrutmen, menguatkan integritas kader, dan mendorong fraksinya menjalankan agenda reformasi, perubahan di DPR hanya akan bersifat kosmetik.

Parpol memegang kendali penuh atas siapa yang dicalonkan menjadi anggota DPR. Reformasi DPR harus dimulai dari proses rekrutmen caleg yang berbasis integritas, kapasitas, dan rekam jejak, bukan sekadar kedekatan, finansial, atau popularitas. Mekanisme seleksi internal perlu dibuat terbuka dan akuntabel, agar publik bisa menilai kualitas calon.

Momentum untuk Berbenah

Tahun politik yang tengah berlangsung justru bisa menjadi momentum penting. Dengan sorotan publik yang tinggi, partai politik dan anggota DPR tidak bisa lagi abai terhadap desakan perubahan.

Bagi partai politik dan anggota legislatif, momen ini bisa menjadi kesempatan emas untuk menunjukkan keberpihakan pada rakyat. Reformasi DPR bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan mendesak agar parlemen kembali mendapatkan kepercayaan rakyat.

Jika tidak, konsekuensinya jelas: jurang antara rakyat dan DPR akan semakin dalam, dan demokrasi Indonesia berisiko kehilangan salah satu pilar terpentingnya. Reformasi DPR tidak lagi bisa ditunda, karena menyangkut legitimasi lembaga legislatif sebagai salah satu pilar demokrasi.

Jika DPR terus bergeming, risiko terbesarnya adalah hilangnya kepercayaan publik dalam jangka panjang. Dan bila itu terjadi, demokrasi Indonesia akan kehilangan salah satu fondasi utamanya.

Penutup

Reformasi DPR adalah desakan yang kian tak terbendung. Publik menagih integritas, transparansi, dan keberpihakan wakil rakyat. DPR harus menjawab dengan perubahan yang kasatmata, yaitu: proses yang terbuka, standar etik yang tegas, serta legislasi yang nyata memperbaiki hidup warga.

Tanpa itu, desakan reformasi akan terus menguat—dan sulit dibendung. Kini bola berada di tangan DPR—apakah akan mendengar suara rakyat dan berbenah, atau tetap larut dalam krisis legitimasi yang bisa berujung pada kehilangan kepercayaan permanen.

Halaman:

Editor: Moh Purwadi

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Tags

Terkini

Imperatif Obligation dan Ekologi Integral

Senin, 8 Desember 2025 | 20:40 WIB

Argumen Pembentukan Ditjen Pesantren

Minggu, 26 Oktober 2025 | 18:40 WIB

Reformasi DPR: Desakan yang Kian Tak Terbendung

Kamis, 2 Oktober 2025 | 09:01 WIB

Menjaga Indonesia

Rabu, 3 September 2025 | 14:14 WIB

Isbat Nikah dan Pencatatan Perkawinan

Senin, 28 April 2025 | 10:15 WIB

Lebaran, Liburan, dan Kontraksi Sosial

Minggu, 6 April 2025 | 17:22 WIB

Lebaran dan Kompetisi Konsumeristik

Selasa, 1 April 2025 | 12:19 WIB
X